Pertanyaan sesungguhnya : bagaimanakah orang-orang yang berakal itu sebenarnya?
Pertama, ia haruslah orang yang membaktikan hidupnya dalam keilmuan. Ilmu bukan hanya pelajaran di sekolah dan titel sarjana, melainkan segala ilmu yang bisa dilahap, maka lahaplah! Tidak cukup bagi seorang dokter untuk mendapat gelar super spesialis dan menjadi acuan utama dalam bidangnya. Tidak cukup bagi seorang ekonom untuk menjadi penasihat Presiden yang selalu dimintai pendapatnya ketika negara sedang krisis. Menjadi ahli di bidangnya saja tidak cukup untuk mendapat gelar 'orang yang berakal' di mata Allah. Suatu standar yang sangat tinggi, memang.
Orang yang berakal adalah yang hidup dalam gairah keingintahuan yang sangat intens. Apa lagi yang membuat mereka - seperti yang dikatakan oleh ayat di atas - senantiasa berpikir dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring, kalau bukan karena rasa ingin tahu yang sangat besar? Meskipun sudah mendapat gelar setinggi langit di suatu bidang tertentu, bukan berarti ia tidak boleh mempelajari hal-hal lain yang menarik perhatiannya. Malah seharusnya demikian, kecuali jika ia rela dicap 'tidak berakal' di akhirat kelak.
Kedua, sekedar ingin tahu dan berpikir saja belum cukup, jika hal itu tidak mengantarkannya pada Allah. Artinya, kalau mau berpikir keras dan mendalam, setiap orang pasti sampai pada kesimpulan yang benar tentang Allah. Kalau ada yang membenamkan dirinya dalam penelitian ilmiah tapi lantas berkesimpulan bahwa Tuhan itu tidak ada, berarti hawa nafsu telah menghalanginya untuk mencapai kesimpulan yang objektif. Saya tidak akan membahas mengenai bukti-bukti keberadaan Allah di sini, tidak juga hendak menjelaskan konsep ketuhanan dalam Islam, karena penjelasan mengenai masalah ini bisa Anda temukan di banyak buku dan referensi lainnya. Yang jelas, ayat ini secara implisit juga menebar tantangan : siapa yang mau berpikir akan menemukan Allah. Maukah Anda menerima tantangan yang sudah berusia lebih dari 14 abad ini?
Ketiga, kegiatan berpikir yang mereka lakukan secara berkesinambungan tersebut membawa mereka pada tiga buah kesimpulan : (1) tidak ada hal yang sia-sia di dunia ini, (2) bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Suci, dan (3) manusia banyak kekurangan, sehingga perlu memohon ampun agar diselamatkan dari api neraka. Hal ini terlihat jelas pada ucapan di akhir ayat ke-191 di atas.
Mereka yang berakal tidak mungkin sombong, meremehkan, dan tidak pedulian (ignorant), karena semakin sering mereka berpikir, semakin mereka banyak tahu bahwa segala sesuatu yang Allah ciptakan di dunia ini tidak sia-sia belaka, alias ada gunanya. Manusia bersikap sombong bukan karena banyak tahu, melainkan justru karena tidak tahu. Orang-orang yang pintar akan memanfaatkan segala sesuatu yang ada di sekitarnya, karena mereka tidak meremehkan manfaat yang bisa diambil darinya. Sifat suka meremehkan sama sekali bertentangan dengan sikap hidup ilmiah, karena yang namanya ilmuwan gemar meneliti justru karena yakin bahwa apa yang ditelitinya itu pasti mengandung rahasia yang besar.
Mereka yang berakal akan mensucikan nama Allah SWT. Mereka yang berprasangka buruk pada Allah akan melihat wabah penyakit dan berpikir bahwa Allah telah bertindak jahat kepada makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Mereka yang menganggap Allah sama tidak sucinya dengan mereka akan menyangka bahwa Allah bersalah karena telah menciptakan begitu banyak kekacauan di dunia ini yang telah memakan banyak korban. Jika pola pikirnya masih begini, maka ia belum sampai pada kualifikasi 'orang yang berakal' dalam versi Al-Qur'an.
Berhitung dengan penuh ketelitian adalah skill yang amat penting bagi manusia. Orang yang berakal pasti pandai berhitung. Dengan demikian, mereka yang berakal pun tidak mungkin lupa diri, karena ia pasti rajin berhitung dengan dirinya sendiri (muhasabah). Jika kita mau berhitung secara objektif, tentu kita akan sampai pada kesimpulan bahwa segala perbuatan kita diliputi oleh berbagai ketidaksempurnaan. Karena itu, satu-satunya hal yang wajar untuk dilakukan adalah memohon ampun kepada Allah SWT.

0 komentar:
Posting Komentar